Saya penasaran dengan konsepsi waktu. Akhir-akhir ini, saya
merasa waktu berjalan sangat cepat sampai saya harus menyesali berlalunya waktu
tanpa menjadi produktif. Saat saya bangun pagi dan membiarkan diri terjaga
sampai siang hari, waktu akan berjalan sedemikian lama sampai saya bisa
menyelesaikan beberapa pekerjaan di pagi hari. Tapi waktu memperlakukan saya
berbeda saat saya menidurkan diri sampai hampir datang waktu siang. Mungkin
saya tidak menyadari kalau badan saya terkejut karena merasa terlambat
menjalani siklus harian, sehingga hari-hari saya menjadi panik dan tugas banyak
terbengkalai dan tak terselesaikan. Tapi sebenarnya, menyelesaikan tugas atau
tidak adalah pilihan. Berdampak menjadi hari-hari yang saya rasa tidak lebih
baik dari hari sebelumnya. Dan saya merugi akan hal itu, karena saya tidak
punya masa hidup yang lama di dunia ini untuk menjadi yang itu-itu saja tanpa
improvisasi.
Saya masih memiliki nenek yang alhamdulillah masih sehat.
Tapi akhir-akhir ini, kemampuan melihat, berjalan, mengingat dan bahkan
mendengar semakin menurun seiring bertambahnya usia. Hal yang selalu
ditanyakannya adalah tentang waktu, jam berapa sekarang? Dan lalu, saat
pertanyaan itu terjawab, diiringi dengan keluhan mengapa waktu berjalan sangat
lambat. Hei, kami hidup di dunia yang sama, bahkan di atap yang sama, tapi kami
memiliki konsep yang begitu beda mengenai waktu. Maka, tak heran saat nenek
saya selalu dengan sigapnya mandi saat sore hari belum datang, mengangkat
jemuran saat matahari belum betul-betul singgah, menyalakan lampu saat langit
benar-benar masih terang. Karena menurutnya, sudah seharusnya waktu berjalan
lebih cepat dari waktu yang beliau hadapi sekarang. Sedangkan saya sebaliknya,
terseok-seok mengejar waktu.
Hal yang saya belum lagi pahami adalah tuntutan untuk serba
cepat, sehingga dampaknya, serba instan seiring kemajuan teknologi. Lho, memang
teknologi untuk mempermudah kehidupan manusia, tapi kalau ternyata dengan
adanya tuntutan itu, hidup menjadi tidak lagi mudah, untuk apa? Makanya, bisa
dibilang saya cenderung skeptis dengan teknologi-teknologi baru yang semakin
sering bermunculan. Adakalanya skeptis itu penting, guna menyaring informasi, mana yang
benar dan salah. Secara, informasi sekarang tidak dicari pun hadir di depan
mata, walau kebenarannya masih patut dipertanyakan.
Saat saya menuang sisa-sisa madu ke dalam botol tadi,
tiba-tiba terpikir bagaimana lebah dapat menghasilkan madu dari tetesan-tetesan
kecil itu. Pikiran saya sebagai manusia masa kini, “Kapan penuhnya ya sarang madu mereka kalau mengisinya hanya setetes demi tetes?” Tapi kenyataannya, penuh! Dan madu yang
dihasilkan berkualitas karena melalui proses alaminya koloni lebah menghasilkan
madu, dengan kerja keras dan bertahap, bukan instan, yang memaksa proses itu lebih cepat dari
semestinya. Hal itu adalah anomali di zaman serba cepat ini, zaman yang menuntut serba instan. Klise, tapi aku masih percaya dengan prinsip lebah madu itu. Di saat arus di sekitarku bergegas mempercepat langkah, aku masih ingin berjalan perlahan, sambil mencari makna.
ditulis tanggal 18 Maret 2018
ditulis tanggal 18 Maret 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar