Satu November di Tahun 2017

Ada kutipan menarik yang saya temui siang tadi dari sebuah film korea yang diadopsi dari kisah nyata.
“Kita tidak harus bertarung untuk mengubah dunia. Tapi kita sebaiknya tidak berubah menghadapi dunia.”

 Silenced
Silenced, adalah film asal Korea yang mengadopsi kisah nyata mengenai suatu sekolah tuna rungu dan wicara di suatu kota terpelosok di Korea, bernama Mujin. Di situ diceritakan ada seorang guru yang datang dari Seoul untuk mengajar pelajaran kesenian di sana. Saat datang, dia merasakan kejanggalan sikap murid-muridnya yang cenderung waspada terhadap orang asing. Dia menjumpai beberapa murid selalu memiliki luka lebam. Anehnya lagi, guru-guru dan karyawan bersikap biasa-biasa saja dengan keadaan itu.
Suatu hari, dia melihat seorang anak perempuan sedang duduk di jendela lantai atas dan dia meneriakinya karena kuatir akan bahaya. Tapi tatapan anak itu kosong, teriakannya tidak dihiraukan. Lalu, dia bergegas naik ke lantai atas tepat di kamar anak perempuan itu, dan langsung digendongnya turun. Setelahnya, anak itu melepaskan diri dari pegangannya, menghindarinya sambil ketakutan. Lantas sambil terbingung, guru itu menenangkannya. Saat anak itu merasa mulai tenang, dia mengajak guru itu ke suatu ruangan di bawah tangga. Dia hanya menunjuk ke situ lalu pergi. Sang guru yang penasaran, mencoba memasuki ruangan yang ternyata ruang cuci dan melihat seseorang sedang menyiksa seorang murid perempuan lain. Setelah melihat kejadian itu dengan mata kepala sendiri, guru itu meminta pertolongan temannya yang juga bekerja di kantor HAM di Kota Mujin. Di situ, pergulatan dengan keadilan dimulai.
Singkat cerita, sang guru yang berniat melindungi murid-muridnya, dengan bantuan HAM, membawa kasus itu ke pengadilan dan memenangkan perkara. Tersangka yang terlibat tidak hanya satu. Sayangnya, walaupun perkara dimenangkan olehnya, tapi hukuman yang dijatuhkan oleh hakim tidak setimpal dengan kejahatan yang telah mereka lakukan bertahun-tahun. Kepala sekolah yang juga pemilik sekolah, menjadi salah satu tersangka, menggunakan uang untuk membayar keadilan. Ada seorang korban yang tidak terima dengan keputusan itu dan akhirnya mencoba membunuh salah satu tersangka yang selama ini menyiksanya, yang kemudian berakhir dengan bunuh diri.
Segala upaya dilakukan untuk menuntut keadilan itu. Seperti berdemo bersama orang-orang yang senasib dan sepemikiran di depan kantor pemerintahan. Tapi sampai akhir dari cerita, upaya mereka untuk menegakkan keadilan tetap tidak dihiraukan oleh pihak berwenang. Walau begitu, seiring berjalannya waktu, orang-orang yang menjadi korban tetap menjalani hidup yang tentunya lebih baik. Karena dengan telah terungkapnya kebenaran itu, ada orang-orang baik lain yang bersedia menolongnya. Dan di akhir film terucaplah kalimat yang saya kutip di awal tulisan.
Saya suka dengan pesan yang dibawa di film ini. Tentang kemerdekaan kebenaran, tentang manusia-manusia yang ingin mengubah dunia. Kebenaran itu harus tetap disuarakan. Tapi, kita tidak pernah benar-benar bisa mengubah situasi menjadi benar. Tidak pernah benar-benar ada superhero yang menyelamatkan dunia ini. Dunia ini diciptakan begitu adanya. Hitam dan putih adalah suatu keseimbangan yang tidak terbantahkan. Masing-masing sudah memiliki garis edar layaknya bulan dan matahari. Satu-satunya yang bisa kita ubah adalah cara pandang kita melihat dan menyikapi dunia, yang jika konsisten dijalani akan membawa dampak, sekecil apapun itu. Sekarang, atau entah kapan.
Film ini dirilis pada tahun 2011 diadaptasi dari novel yang ditulis pada tahun 2009 oleh Gong Ji-young. Walau cerita di film selesai sampai di situ, tapi cerita sesungguhnya belum selesai. Dirilisnya film itu mendapat respon yang positif hingga banyak orang yang menuntut kasus ini untuk dibuka kembali. Sekolah itu akhirnya ditutup paksa, hukuman yang berat akhirnya dijatuhkan kepada para pelaku, peraturan-peraturan baru yang menindaklanjuti kejahatan seksual terhadap anak di bawah usia bermunculan. Bentuk dari kesadaran-kesadaran baru yang bermunculan. Pada akhirnya, kalimat yang ditulis Paulo Coelho dalam Aleph, “If you conquer yourself, then you conquer the world”* relevan dengan kalimat yang saya kutip di awal tulisan.  Dari persepsi saya, perubahan besar yang terjadi, mungkin lebih baik disikapi sebagai bonus dari proses perbaikan diri yang kita jalani, bukan sebagai tujuan awal.

* I’d rather use “embrace” than “conquer”. It sounds more humble.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar